Teringat saat itu. Dunia serasa gelap dan sepi. Aku sendiri berjalan dalam letihku. Membawa sekarung kepahitan dihati. Hati yang kecil ini rapuh dan melapuk. Digerogoti kesal yang tak terkatakan. Terseok seok langkahku dipinggir jalan. Setiap ada orang yang lewat kuberi senyum termanisku. Buru2 kuubah sikap langkah lemahku tadi. Aku tak mau ada yang tahu aku seperti ini. Aku malu. Kukuatkan langkahku agar berjalan tegap. Mereka pikir aku tegar menghadapi semua ini. Mereka tak tahu seperti apa sebenarnya aku. Aku sedih dengan sejuta gundah yang menggantung seperti awan mendung yang hitam tebal. Siap menitikan hujan dengan deras. Seperti itu juga aku. Aku ingin menangis sekencang2nya untuk meluapkan penatku. Ingin kutumpahkan kepekatan yang meracuni jiwaku ini. Terlalu banyak menumpuk dalam diriku. Menyesaki rongga dada. Nafasku seolah tercekat karenanya. Aku ingin menangis tapi aku tak mau ada yang melihatku. Setiap dalam langkahku, airmataku serasa berontak ingin mengalir saja. Tapi aku berusaha menahannya erat2. Karna kutahu ini bukan saat yang tepat untukku. Setiap aku berada di tempat yang sepi, aku tak sabar ingin menangis. Aku menoleh kekanan kiri untuk memastikan tak ada orang disekitarku. Hingga akhirnnya aku terduduk di suatu tempat dengan deretan kursi yang tampak kosong. Aku duduk dan menengadah ke langit. Langit memang biru. Tapi entah, biasanya aku senang melihat langit biru karna itu tandanya hari cerah. Tapi kali ini aku justru semakin gundah melihatnya. rasanya dunia ini begitu luas seperti langit yang memebentang sementara aku sendiri saja disini. Saat melangkah pun, tak seperti biasanya jalanan tampak lengang. Aku bertanya tanya dalam hati, ada apa gerangan. Seolah satu persatu pergi meninggalkanku tanpa mempedulikanku dan tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun. Aku sadar seringkali aku melakukan sesuatu yang salah. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku terpaksa melakukannya.
Kadang aku berpikir. Terlalu bodoh rasanya menahan airmata hingga seperti itu. Tapi bagaimanapun aku tak biasa. Menangis didepan umum. Kalau banyak orang justru senang menangis agar dilihat banyak orang. Aku tidak. Aku tak suka berbagi cerita tentang rasaku. Bukan karna aku merasa hebat bisa menanggungnya sendiri. Tapi karna aku terbiasa menyendiri sejak dulu. Aku tak punya teman. Teman dimasa kecilku tak lebih dari 5 jari di tanganku ini. Begitupun saat remaja, dewasa hingga kini. Keadaan tak beda jauh. Aku enggan berkawan, karna buatku itu hal yang rumit. Hingga detik ini aku baru menemukan seorang sahabat yang benar2 cocok dan pas denganku. Semenjak sekolah hingga kini. Ia tak pernah melupakanku. Walaupun aku jarang menyapanya. Berulangkali ia mengirim surat padaku, namun aku tak pernah sempat membalasnya. Dan hebatnya ia tak pernah marah. Padahal kalau saja aku yang menjadi dia, aku pasti akan marah dan tak mau lagi berteman dengannya. 3 tahun surat2 itu datang padaku tapi aku tak pernah membalasnya. Setiap tahun ia tak pernah lupa mengirimkan ucapan ulangtahun untukku. Padahal aku sering kali lupa ulangtahunnya. Sejak awal berteman, tak ada cerita tentang kado2an. Tak ada dalam cerita persahabatan kami, saling memberi kado. Bukannya pelit, tapi karena memang sama2 tak punya uang. Dan kami saling mengerti. Tak pernah menuntut ataupun menggerutu soal hadiah. Mempermasalahkan kado sangat tidak penting buat kami. Karena persahabatan kami begitu tulus dan apa adanya. Dulu setiap ada yang menggangguku harus berhadapan dengannya. Aku tak pernah cerita ada apa denganku. Setiap ia melihatku menangis ia tahu ada yang mengganggu. Ia akan mengejar orang iu dan memarahinya bahkan menghajarnya. Ia memang pembela sejatiku. Padahal aku tak pernah melakukan hal yang sama terhadapnya. Katanya aku sudah seperti adiknya. Walaupun adiknya sebenarnya sudah banyak. Aku pikir setelah lulus nanti aku pasti akan banyak bertemu dengan teman ssepertinya. Nyatanya tidak. Hingga lulus kuliah pun tak kutemui teman yang tulus sepertinya. Aku merindukan persahabatan yang tulus dan apa adanya. Bukannya saling mencari keuntungan dan saling tusuk dari belakang. Aku bersyukur mengenalnya. Setidaknya ia pernah ada dalam hidupku...
Kadang aku berpikir. Terlalu bodoh rasanya menahan airmata hingga seperti itu. Tapi bagaimanapun aku tak biasa. Menangis didepan umum. Kalau banyak orang justru senang menangis agar dilihat banyak orang. Aku tidak. Aku tak suka berbagi cerita tentang rasaku. Bukan karna aku merasa hebat bisa menanggungnya sendiri. Tapi karna aku terbiasa menyendiri sejak dulu. Aku tak punya teman. Teman dimasa kecilku tak lebih dari 5 jari di tanganku ini. Begitupun saat remaja, dewasa hingga kini. Keadaan tak beda jauh. Aku enggan berkawan, karna buatku itu hal yang rumit. Hingga detik ini aku baru menemukan seorang sahabat yang benar2 cocok dan pas denganku. Semenjak sekolah hingga kini. Ia tak pernah melupakanku. Walaupun aku jarang menyapanya. Berulangkali ia mengirim surat padaku, namun aku tak pernah sempat membalasnya. Dan hebatnya ia tak pernah marah. Padahal kalau saja aku yang menjadi dia, aku pasti akan marah dan tak mau lagi berteman dengannya. 3 tahun surat2 itu datang padaku tapi aku tak pernah membalasnya. Setiap tahun ia tak pernah lupa mengirimkan ucapan ulangtahun untukku. Padahal aku sering kali lupa ulangtahunnya. Sejak awal berteman, tak ada cerita tentang kado2an. Tak ada dalam cerita persahabatan kami, saling memberi kado. Bukannya pelit, tapi karena memang sama2 tak punya uang. Dan kami saling mengerti. Tak pernah menuntut ataupun menggerutu soal hadiah. Mempermasalahkan kado sangat tidak penting buat kami. Karena persahabatan kami begitu tulus dan apa adanya. Dulu setiap ada yang menggangguku harus berhadapan dengannya. Aku tak pernah cerita ada apa denganku. Setiap ia melihatku menangis ia tahu ada yang mengganggu. Ia akan mengejar orang iu dan memarahinya bahkan menghajarnya. Ia memang pembela sejatiku. Padahal aku tak pernah melakukan hal yang sama terhadapnya. Katanya aku sudah seperti adiknya. Walaupun adiknya sebenarnya sudah banyak. Aku pikir setelah lulus nanti aku pasti akan banyak bertemu dengan teman ssepertinya. Nyatanya tidak. Hingga lulus kuliah pun tak kutemui teman yang tulus sepertinya. Aku merindukan persahabatan yang tulus dan apa adanya. Bukannya saling mencari keuntungan dan saling tusuk dari belakang. Aku bersyukur mengenalnya. Setidaknya ia pernah ada dalam hidupku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar